Pencarian

Sidang Praperadilan: Polda Riau Kalah, Aset Muflihun Harus Dikembalikan

PEKANBARU, TanahIndonesia.id - Kepolisian Daerah (Polda) Riau dipaksa menelan pil pahit setelah kalah dalam gugatan praperadilan yang diajukan oleh mantan Sekretaris DPRD Riau, Muflihun. Dalam sidang yang digelar di Pengadilan Negeri Pekanbaru pada Rabu (18/9/2024), hakim tunggal Dedy menyatakan bahwa penyitaan aset milik Muflihun cacat hukum dan melanggar hak konstitusionalnya.

Aset yang dipersoalkan adalah satu unit rumah di Jalan Sakuntala/Banda Aceh, Pekanbaru, dan satu apartemen di Batam, Kepulauan Riau. Penyitaan dilakukan oleh Subdit III Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Riau dalam proses penyidikan dugaan korupsi anggaran SPPD fiktif tahun 2020–2021.

Dalam putusannya, hakim memerintahkan Polda Riau mencabut status penyitaan dan mengembalikan kedudukan hukum serta kepemilikan aset Muflihun.

“Tindakan penyitaan tersebut melanggar hak konstitusional Pemohon sebagai warga negara,” tegas hakim.

Ahmad Yusuf, kuasa hukum Muflihun, menyambut putusan tersebut sebagai bentuk koreksi terhadap tindakan aparat yang dianggap menyimpang dari prosedur hukum.

“Ini bukan bentuk perlawanan terhadap Polri, tapi untuk menegakkan asas due process of law. Klien kami dirugikan secara politik, nama baik, dan materi,” ujarnya.

Di sisi lain, Polda Riau menyatakan menghormati putusan tersebut. Kabid Humas Kombes Pol Anom Karibianto menegaskan bahwa penyidikan kasus tetap berjalan. “Yang dibatalkan hanya penyitaan dua aset. Proses penyidikan kasus SPPD fiktif tetap berlanjut,” katanya.

Kasus SPPD fiktif tahun 2020–2021 di Sekretariat DPRD Riau ditaksir merugikan negara Rp195,9 miliar, berdasarkan audit BPKP. Lebih dari 400 saksi telah diperiksa, termasuk pejabat Setwan Riau. Uang tunai hampir Rp20 miliar, empat unit apartemen, sepeda motor Harley Davidson, barang mewah, dan tanah senilai miliaran telah disita.

Meski dua aset Muflihun harus dikembalikan, Polda Riau tetap menyebut ‘M’, yang diduga sebagai pengguna anggaran, dapat dimintai pertanggungjawaban dan berpotensi menjadi tersangka. (*)