Pencarian

Pandangan Praktisi Hukum Riau: OTT KPK terhadap Gubernur Riau Sarat Kejanggalan Prosedural

Tembilahan, TanahIndonesia.id - 6 November 2025 Dr.(c) Yudhia Perdana Sikumbang, S.H., M.H., C.P.L., praktisi hukum dan Managing Partner YPS Law Office & Partners, menilai bahwa operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Riau terhadap Gubernur Abdul Wahid dan sejumlah pejabat Dinas PUPR-PKPP memiliki kejanggalan hukum acara yang signifikan.

Menurutnya, berdasarkan keterangan resmi KPK sendiri, OTT tersebut berawal dari aduan masyarakat dan tidak melalui proses penyelidikan formal sebagaimana diatur dalam KUHAP maupun UU KPK.

“OTT merupakan tindakan luar biasa yang hanya sah bila memenuhi unsur tertangkap tangan sebagaimana Pasal 1 angka 19 KUHAP. Dalam kasus ini, yang diamankan bukan pelaku yang sedang melakukan tindak pidana, melainkan pejabat struktural dan Kepala UPT yang justru menjadi pihak yang dipaksa,” ujarnya.

Delik Pemerasan Tak Tepat Dibungkus OTT

Dr.(c) Yudhia menjelaskan bahwa delik pemerasan jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf e UU Tipikor bersifat administratif dan berproses, bukan perbuatan spontan seperti suap yang bisa dibuktikan melalui OTT.

“Pemerasan jabatan memerlukan pembuktian adanya tekanan atau ancaman nyata, bukan sekadar interpretasi perintah atau kebiasaan birokrasi. Jika perbuatannya sudah berlangsung lama dan uangnya diserahkan jauh hari sebelumnya, maka itu bukan lagi OTT, melainkan hasil pengembangan penyidikan,” jelasnya.

Kepala UPT Justru Korban Pemerasan

Ia menambahkan bahwa dari konstruksi fakta yang diungkap KPK sendiri, para Kepala UPT justru merupakan korban dari tekanan jabatan, bukan pelaku korupsi.

“Mereka menyerahkan dana di bawah ancaman mutasi dan tidak memperoleh keuntungan apa pun. Secara hukum, posisi mereka lebih tepat sebagai saksi korban, bukan pihak yang diamankan dalam OTT,” kata Yudhia.

Seruan Penegakan Hukum yang Adil dan Prosedural

Lebih jauh, Dr.(c) Yudhia menekankan pentingnya menegakkan hukum dengan asas due process of law dan proporsionalitas.

“Kita tentu mendukung pemberantasan korupsi, tetapi tidak dengan mengorbankan prosedur hukum dan hak-hak orang yang seharusnya dilindungi. OTT yang tidak memenuhi syarat formil justru berpotensi mencederai kepercayaan publik terhadap penegakan hukum,” tegasnya.

Sebagai praktisi hukum di Riau, ia mengajak semua pihak untuk menunggu proses hukum dengan kepala dingin dan tetap menghormati asas praduga tak bersalah.

“Kalau memang ada unsur pemerasan, buktikan dengan dua alat bukti sah, bukan sekadar asumsi komunikasi birokratis. Keadilan harus ditegakkan melalui proses, bukan persepsi,” tutupnya.(**)