Riau, TanahIndonesia.id - Di tengah upaya pemerintah untuk menertibkan aktivitas ilegal, alat berat milik Subala—pemilik nama lengkap Herman—dengan leluasa meratakan perbukitan di KM 6, tepatnya di depan Terminal Pematang Reba, Kecamatan Rengat Barat, Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu), Riau. Ironisnya, lokasi tambang ilegal tersebut berada "di tepi lubang hidung" Kapolres Inhu, tetapi tetap beroperasi tanpa tersentuh hukum.
Informasi yang dihimpun di lapangan pada Sabtu (8/3/2025) menyebutkan bahwa Subala dikenal sebagai pemain lama dalam bisnis tambang ilegal. Ia menjalankan bisnis haram ini dengan metode "Adu Balak", yakni tanpa modal awal, tetapi mengandalkan jaringan dan perlindungan dari pihak tertentu.
Dalam menjalankan operasi tambang ilegalnya, Subala disebut-sebut lebih banyak berperan di balik layar. Alat berat yang dimilikinya diklaim sebagai hasil kontrak dengan sejumlah oknum, baik dari kepolisian, TNI, maupun wartawan, yang diduga menjadi beking bisnis haram tersebut.
Sebelumnya, aktivitas pengerukan tanah di depan Terminal Gerbang Sari Permatang Reba dilakukan dengan mengatasnamakan PT Jet Pro, perusahaan yang dipimpin oleh seorang direktur bernama Edi Kapas. Namun, belakangan PT Jet Pro telah menarik diri dan tidak lagi terlibat dalam kegiatan penambangan tanah uruk dan sejenisnya di lokasi tersebut.
Aktivitas tambang ilegal ini berlangsung dalam skala besar. Setiap harinya, lebih dari 500 truk coltdiesel dan tronton mengangkut tanah uruk dari lokasi tersebut. Mirisnya, penambangan ilegal ini beroperasi tanpa izin resmi dan tanpa membayar retribusi daerah, meskipun lokasinya berada di samping kantor Bupati Inhu dan tidak jauh dari Mapolres Inhu di Rengat.
Harga tanah Uruk setiap satu mobil coldisel membayar dengan harga Rp200 ribu, sedangkan untuk harga tanah Uruk menggunakan tronton dijual dengan harga Rp800 ribu per satu mobilnya oleh pelaku tambang ilegal depan terminal Gerbang Sari tersebut.
Namun, hingga kini, Kapolres Inhu AKBP Fahrian Saleh Siregar, SIK MSi, tampak "Mandul" dalam menegakkan hukum terkait aktivitas tambang ilegal tersebut. Dugaan kuat menyebut bahwa kegiatan tersebut mendapat perlindungan dari oknum aparat penegak hukum.
LBH Pena Riau: Harus Ada Penindakan Hukum
Terpisah, Bidang Litigasi LBH Pena Riau, Daeng Ibrahim, S.H., menegaskan bahwa setiap perbuatan yang melanggar hukum dan merugikan daerah, negara, serta masyarakat harus ditindak oleh aparat penegak hukum.
"Dalam hukum pidana, perbuatan melawan hukum mencakup segala aktivitas ilegal yang menguntungkan diri sendiri tanpa izin resmi dari lembaga berwenang. Ini harus ditindak sesuai dengan hukum yang berlaku, karena sudah memenuhi unsur perbuatan melawan hukum," ujar alumni Universitas Islam Riau ini.
Daeng Ibrahim juga menyoroti Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH), yang mengatur ancaman pidana bagi individu maupun korporasi yang merusak lingkungan.
"Perusakan lingkungan hidup diatur dalam Pasal 98 UU PPLH, dengan ancaman hukuman penjara 3 hingga 10 tahun dan denda Rp3 miliar hingga Rp10 miliar," tambahnya.
Belakangan, muncul nama pengusaha Johor Judin, pemilik Toko Damai Rengat, yang diduga ikut andil dalam bisnis ilegal jual beli tanah uruk di lokasi tersebut. Keterlibatan Johor Judin semakin memperkuat dugaan bahwa aktivitas ini bukan hanya dilakukan oleh individu semata, tetapi telah menjadi jaringan bisnis ilegal yang terstruktur. **tIND/Darfi