PEKANBARU, TanahIndonesia.id - Desakan agar Ketua Umum Partai Golkar, Bahlil Lahadalia, tidak gegabah dalam memberikan diskresi di Musyawarah Daerah (Musda) Golkar Riau kian nyaring. Peringatan keras itu datang dari internal organisasi sayap, Kosgoro 1957, yang menilai langkah mendorong SF Hariyanto sebagai calon ketua berpotensi menimbulkan gejolak besar.
Sekretaris Kosgoro 1957 Riau, Nofri Andri Yulan, menilai nama SF sarat persoalan. Ia bukan hanya kader baru di tubuh Golkar, tetapi juga memiliki rekam jejak kontroversial. “Memberi diskresi kepada figur bermasalah adalah langkah mundur bagi partai sebesar Golkar,” ujar Yulan di Pekanbaru, Senin, 18 Agustus 2025.
Sejumlah kader di daerah juga mengamini pandangan itu. Mereka menyebut SF tak memiliki basis dukungan kuat. Hampir seluruh pemilik suara Musda menolak kehadirannya sebagai calon ketua. “Faktanya, dia tidak punya basis dukungan. Jadi untuk apa dipaksakan?” kata Yulan.
Nama SF kerap dikaitkan dengan serangkaian persoalan hukum. Mulai dari dugaan kasus korupsi hingga defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Riau sebesar Rp1,76 triliun ketika ia masih menjabat Sekretaris Daerah.
Deretan catatan itu, menurut Yulan, membuat kader di akar rumput merasa resah. “Bagaimana mungkin Golkar dipimpin oleh figur yang sarat kontroversi? Dampaknya bukan hanya di internal, tapi juga citra partai di mata publik,” ujarnya.
Desakan agar Bahlil tidak mengeluarkan diskresi untuk SF kian relevan di tengah pertarungan politik internal Golkar Riau yang disebut-sebut penuh intrik. Tanpa restu dari pusat, peluang SF menembus bursa calon ketua praktis tertutup.
“Bahlil harus mendengar suara kader di daerah. Jangan sampai partai gaduh hanya karena memaksakan orang yang ditolak mayoritas,” kata Yulan menambahkan. Sejumlah pengamat menilai polemik ini mencerminkan tarik menarik kepentingan antara elite pusat dan daerah.
Diskresi ketua umum kerap dijadikan jalan pintas untuk menyelamatkan figur tertentu, meski berisiko menabrak aspirasi kader akar rumput. “Kalau diskresi dipaksakan, dampaknya bukan hanya resistensi internal, tapi bisa menjadi bumerang elektoral bagi Golkar di Riau,” ujar seorang pengamat politik Universitas Riau yang enggan disebut namanya.
Kini bola berada di tangan Bahlil Lahadalia. Apakah ia akan mendengar suara kader di daerah atau tetap memberi jalan bagi SF Hariyanto, figur yang dinilai sarat kontroversi? Jawaban itu bisa menentukan arah konsolidasi Golkar Riau menjelang Pemilu 2029.(**)